Kamis, 12 Juni 2014

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah, keluarga dan para sahabatnya. Selain dikenal sebagai syahru shiyam, syahru qiyam, dan syahru Qur'an, Ramadhan juga masyhur dengan syahru muwasah (bulan bersimpati dan menolong) kepada fakir miskin dengan berbagi dan bersedekah. Dan bersedekah ini, termasuk salah satu dari amal utama di bulan yang sangat mulia ini. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah manusia paling dermawan. Dan beliau lebih demawan ketika di bulan Ramadhan. Beliau menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut. Beliau bersabda, "Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan." (HR. al-Tirmidzi dari Anas) Sesungguhnya sedekah atau shadaqah di bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan kelebihan. Dan ini haruslah menjadi motifasi/pendorong seorang muslim menjadi lebih dermawan pula di bulan yang mulia. Maka pada tulisan ini kami akan tuturkan beberapa sebab pendorong kaum mukminin yang sedang berpuasa Ramadhan untuk lebih dermawan di dalamnya. Antara lain: 1. Kemuliaan zaman (waktu) dan dilipat gandakannya amal-amal shalih di dalamnya. Dalam Sunan al-Tirmidzi, dari Anas bin Malik secara marfu', "Shadaqah yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan." 2. Membantu shaimin, qaimin, dan dzakirin untuk menjalankan ketaatan mereka. Inilah yang menjadi sebab ia mendapatkan pahala seperti pahala mereka. Dalam hadits Zaid bin Khalid, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا "Siapa yang memberi berbuka orang puasa, baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya sedikitpun." (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Nasai, dan dishahihkan al-Albani) 3. Bahwasanya bulan Ramadhan adalah bulan di mana Allah berderma (melimpahkan kebaikan) kepada para hamba-Nya dengan mecurahkan rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari neraka, terlebih di Lailatul Qadar. Allah Ta'ala akan menyayangi para hamba-Nya yang senang mengasihi yang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ "Sesungguhnya Allah akan merahmati para hamba-Nya yang ruhama' (suka mengasihi yang lainnya)." (HR. Al-Buhkari) Maka siapa yang berderma kepada hamba Allah, maka Allah akan berderma kepadanya dengan pemberian dan karunia. Karena balasan itu sesuai dengan jenis amal. . . . Maka siapa yang berderma kepada hamba Allah, maka Allah akan berderma kepadanya dengan pemberian dan karunia. Karena balasan itu sesuai dengan jenis amal. . . 4. Puasa dan shadaqah, keduanya menjadi sebab yang bisa menghantarkan ke surga. Seperti yang terdapat dalam hadits Ali Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat ruangan yang dalamnya bisa dilihat dari luarnya dan luarnya bisa dilihat dari dalamnya." Lalu para sahabat bertanya: "Untuk siapa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ "Bagi siapa yang baik tutur katanya, memberi makan, kontinyu melaksanakan shiyam, dan shalat malam karena Allah di saat manusia tertidur." (HR. Al-Tirmidzi) Amal-amal ini terkumpul pada bulan Ramadhan, di mana seorang mukmin mengumpulkan shiyam, qiyam, shadaqah, dan berkata yang baik di dalamnya. Pada saat yang sama, orang yang puasa menahan diri dari tindakan lahwun (sia-sia) dan tercela. Shiyam, shadaqah, dan shalat bisa menghantarkan pelakunya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sebagian ulama salaf berkata, "Shalat menghantarkan pelakunya kepada pertengahan jalan, puasa menghantarkannya sampai ke pintu raja, sementara shadaqah meraih tangannya untuk dimasukkannya menemui sang raja." Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepada para sahabatnya, "Siapa di antara kalian di pagi ini yang berpuasa?" Abu Bakar menjawab, "Saya." Beliau bertanya lagi, "Siapa di antara kalian yang sudah mengantarkan jenazah hari ini?" Abu Bakar menjawab, "Saya." Beliau bertanya lagi, "Siapa yang sudah memberi makan orang miskin hari ini?" Abu Bakar menjawab, "Saya." Beliau bertanya lagi, "Siapa yang sudah mengeluarkan shadaqah?" Abu Bakar menjawab, "Saya." Lalu beliau bertanya lagi, "Siapa di antara kalian yang sudah menjenguk orang sakit?" Abu Bakar menjawab, "Saya." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tidaklah amal-amal tersebut terkumpul pada diri seseorang kecuali ia akan masuk surga." 5. Berkumpulnya puasa dan shadaqah lebih kuat untuk dihapuskannya kesalahan, dipelihara dari jahannam, dan dijauhkan darinya. Lebih lagi, kalau digabung dengan qiyamullail. Terdapat sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Puasa menjadi tameng." (HR. al-Nasai) Dalam riwayat lain, "Tameng salah seorang kalian dari neraka sebagaimana tameng yang melindunginya dari serangan musuh." (HR. al-Nasai) Dalam hadits Mu'adz, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, والصَّدقَةُ تُطْفِئُ الخَطيئَةَ كَما يُطفئُ الماءُ النارَ ، وصَلاةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوفِ اللَّيلِ "Shadaqah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam." (HR. Al-Tirmidzi) Abu Darda' Radhiyallahu 'Anhu berkata, صلوا في ظلمة الليل ركعتين لظلمة القبور، صوموا يوماً شديداً حرُّه لحر يوم النشور، تصدَّقوا بصدقة لشرِّ يوم عسير "Shalatlah dua rakaat di kegelapan malam untuk gelapnya kubur, berpuasalah di hari yang sangat panas untuk (menebus) panasnya hari perhimpunan, dan bershadahlah dengan shadaqah (menebus) untuk hari yang sulit." . . . Berkumpulnya puasa dan shadaqah lebih kuat untuk dihapuskannya kesalahan, dipelihara dari jahannam, dan dijauhkan darinya. . . 6. Dalam pelaksanaan puasa pastilah ada cacat dan kurang, sedangkan puasa bisa menghapuskan dosa-dosa bila puasanya memenuhi syaratnya, yaitu terjaga dari yang seharusnya dipeliharanya. Hal ini seperti yang terdapat dalam hadits yang dikeluarkan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Umumnya manusia, puasanya tidak memenuhi syarat-syarat yang harus dipeliharanya. Oleh karena itu, seseorang dilarang mengatakan: "Aku telah berpuasa atau qiyam Ramadhan secara sempurna." Maka shadaqah menutup kekurangan dan cacat padanya. Karenanya, pada akhir Ramadhan diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah sebagai permbersih bagi orang yang berpuasa dari perkara lahwun dan perbuatan tercela. 7. Orang yang berpuasa meninggalkan makan dan minumnya karena Allah. Jika ia menolong para shaimin untuk bertakwa dengan menyediakan makan dan minum untuk mereka maka kedudukannya seperti orang meninggalkan sikap egoisnya karena Allah dengan memikirkan dan membantu yang lain. Karena itu disyariatkan mengajak orang lain untuk berbuka bersamanya yang pada saat itu makanan menjadi sesuatu yang paling disukainya. Jika ia bisa berbagi dengan yang lain, semoga ia menjadi bagian dari orang yang memberi makanan yang disukainya kepada yang lain. Hal itu sebagai wujud syukur kepada Allah atas nikmat dibolehkannya makan dan minum untuknya setelah sebelumnya dilarang. Dan nikmat makan dan minum akan terasa luar biasa setelah sebelumnya tidak dibolehkan. Sebagian ulama salaf saat ditanya tentang hikmah disyariatkan berpuasa menjawab, "Supaya orang kaya merasakan rasanya lapar sehingga tidak lupa terhadap orang-orang kelaparan." Dan ini termasuk hikmah dan faidah pelaksanaan ibadah shaum. Disebutkan dalam hadits Salman, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan muwasah (bersimpati/menolong orang lain). Maka siapa yang tidak mampu mengutamakan orang lain atas dirinya maka tidak termasuk orang yang suka menolong. Maka kita lihat banyak ulama salaf yang lebih mengutamakan orang lain saat berbuka, bahkan melayaninya. Adalah Ibnu Umar saat berpuasa, ia tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Jika keluarganya melarangnya, maka ia tidak makan pada malam itu. Dan jika datang seorang pengemis padahal ia bersiap akan makan, maka ia ambil sebagian dari makanan itu lalu ia bawa pergi untuk diberikan kepada pengemis tadi, dan saat ia kembali sisa makanan tadi sudah habis dimakan keluarganya, maka pada saat itu ia berpuasa dan tidak makan apa-apa. 8. Sebab lainnya, kenapa kaum muslimin bersikap dermawan pada bulan Ramadhan ini adalah seperti yang diutarakan oleh Imam Syafi'i, al-Qadhi 'Iyadh, Abu Ya'la, dan lainnya rahimahumullah, "Sesuatu yang paling disuka oleh seseorang dalam menambah kedermawanan di bulan Ramadhan adalah karena mencontoh kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam." Juga karena pada bulan tersebut manusia terdesak dengan kebutuhan pokoknya sementara kesibukan kerja mereka tersita dengan ibadah shaum dan shalat tarawih. Sehingga jika orang kaya berbagi kepada saudara muslimnya yang kurang mampu, ia telah meringankan beban orang lain dan mempermudah urusannya. Dan Allah senantiasa menolong hamba, selama dia gemar menolong sesamanya. . . . kenapa kaum muslimin bersikap dermawan pada bulan Ramadhan:karena mencontoh kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam . . . Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ . . . وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ "Siapa yang menghilangkan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat. . . dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya." (HR. Muslim) Hadits tersebut menunjukkan keutamaan memenuhi kebutuhan kaum muslimin, memberi kemanfaatan bagi mereka dengan ilmu, harta, bantuan, nasihat, arahan kepada yang lebih bermanfaat bagi mereka, dan yang lainnya. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com] - See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2013/07/27/26032/hikmah-banyak-sedekah-di-bulan-ramadhan/#sthash.TC9QgzrX.dpuf


Cetak E-mail
Lazim kita ketahui, bahwa agama Islam ini penuh dengan perumpamaan simbol dan lambang- lambang.Hal ini,kiranya diciptakan Allah Ta’ala untuk memudahkan dan membuat kita akrab dengan ajaran agama, dengan merasakan suasana yang sepenuhnya kita sadari dan alami.Misalnya, ada hadits, “Miftahul Jannah La Ilaha Illa Llah”, (Kunci surga itu adalah pengucapan (penghayatan,pengamalan) bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah).
Dalam konteks puasa Ramadhan, yang sedang kita laksanakan bersama ini. Puasa disebut Nabi Muhammad Shalallah alaih wasallam sebagai pintu ibadah.Nabi bersabda “ Li kulli Syaiin Babun, wa Babul Ibadah as Shaumu”,(Setiap segala sesuatu itu ada pintunya, dan pintu ibadah adalah puasa). (H.R. Ibn Al-Mubarak dalam Az-zuhud )
Menimbang  penting dan  kegunaan ibadah puasa ini,maka ia kerap diberlakukan sebagai ibadah terapis sebagai penangkal tumbuh liarnya nafsu syahwat libido,misalnya dalam hadits riwayat Imam Al Bukhari dari Ibn Mas’ud, dapat kita telaah anjuran Rasulullah Muhammad kepada para pemuda yang belum memiliki persiapan matang untuk menikah,dianjurkan untuk berpuasa, yang dalam bahasa beliau disebut  sebagai Wija’ (alat kendali).
Dalam telaah  Sayyid Haidar Al Amuly misalnya, penulis “ Asrarus Syariah wa Athwarul Thariqah wa Anwarul Haqiqah”,   puasa disebut sebagai pintu ibadah dikarenakan ia berfungsi terhadap  dua hal.Pertama, puasa dapat mencegah sesuatu yang dilarang agama dan kedua, puasa adalah bentuk penyerangan terhadap godaan syaithan.Detailnya adalah sebagai berikut.
Pertama,puasa berpotensi mencegah  hal- hal yang dilarang, mencegah diri dari nafsu syahwat dan bahwa puasa itu adalah ibadah eksklusif, yakni ibadah rahasia yang hanya diketahui oleh Allah. Berbeda dengan shalat, zakat dan ibadah  selain keduanya yang masih mungkin dilihat sesama, sehingga dikhawatirkan tersusupi perasaan bangga dan bertindak pamer.Padahal bukankah telah maklum, bahwa keduanya adalah penyebab utama tertolaknya suatu ibadah dan ketaatan.
Kedua, puasa adalah sebentuk penyerangan terhadap syaithan, sebagai musuh Allah dan kita semua. Disebut menyerang syaithan, karena ia tidak akan mampu menggoda manusia, kecuali dengan jalan pemenuhan nafsu syahwat. Nah, rasa lapar dan dahaga adalah upaya preventif untuk menaklukkan segala nafsu syahwat yang tidak lain adalah piranti syaithan untuk menggoda manusia.
Jika piranti ini ditiadakan, adalah menjadi niscaya pula  hilangnya aktivitas godaan itu.Karena itu, Nabi Muhammad bersabda : “ Sesungguhnya syaithan itu menyusuri putra  Adam, sebagaimana aliran darah, maka sempitkan alirannya dengan lapar”.Dengan hadits ini, kita dapat memahami makna hakikat hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi Saw pernah bersabda :
“Apabila bulan Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka dan pntu-pintu neraka ditutup. Syaithan-syaithan dibelenggu. Maka berserulah seorang penyeru : “Hai siapa yang menginginkan kebaikan datanglah! Dan siapa ingin (melakukan) kejahatan, cegalah dirimu! (H.R. Turmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Dari komparasi dua hadits di atas,kiranya telah jelas bahwa yang dimaksud syaithan dibelenggu, lebih mengena diartikan bahwa peluang dan piranti  syaithan untuk menggoda manusia di bulan puasa Ramadhan  benar- benar ditutup, dikendalikan dengan terapi lapar manusia yang berpuasa.Dengan ditutupnya peluang melakukan dosa bermakna neraka siksaan telah pula ditutup dan yang tinggal kemudian adalah bekerjanya nurani manusia untuk kembali pada jalan Allah yang membawanya menuju surga keridhaan Allah Ta’ala.
Semuanya kemudian kembali pada pribadi kita masing- masing untuk mengetuk dan mau membuka pintu ibadah ini.Kita sambut dan  jemput dengan gempita peluang berharga yang dihadiahkan Allah Ta’ala ini, yang dengan puasa ini,ibadah- ibadah atau penghambaan yang lain menjadi terbuka dan mudah untuk dimakna dan dijalankan.

*Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang
Ramadhan dan Nuzulul Qur'an Cetak E-mail

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Karena di dalam bulan Ramadhan ada Lailatul Qadar, segala dosa umat manusia diampuni dan segala amal perbuatan kebaikan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. dan di dalam bulan Ramadlan al-Qur’an pertama kali di turunkan. Peristiwa tersebut tidak pernah ada pada selain bulan Ramadhan. Selain kitab al-Qur’an Allah juga menurunkan kitab-kitab samawi yang lain seperti kitab Taurot, Zabur dan Injil. Hanya saja hukum syariat Islam yang tertuang di dalam masing-masing kitab tersebut satu sama lain tidak sama tetapi dalam masalah ketauhidan (ketuhanan) semua kitab sama yakni sama-sama mengajarkan kepada umat manusia agar menyembah dan meng-Esa-kan Allah SWT.
Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Saw yang paling agung bila dibandingkan dengan Mukjizat-mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau Nabi dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Adalah wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat memalsukan/merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an. Seorang orientalis Barat yang bernama H.A.R Gibb pernah mengatakan bahwa “ Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang sedemikian nyaring dan indah serta sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang di baca Muhammad (al-Qur’an)”. Itulah barangkali salah satu bukti keagungan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw. 14 abad yang silam. al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat yang lain yang hanya bisa dinikmati dan disaksikan pada zamannya saja. Sejak pertama kali diturunkan al-Qur’an telah mampu merubah arah dan paradigma peradaban ummat manusia dari kesesatan menuju kebenaran dan kebahagian dunia maupun akhirat. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar tanggal, 17 Ramadhan tepatnya saat beliau Nabi Muhammad Saw berusia 40 tahun. al-Qur’an diturunkan ke bumi tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan hanya satu kali langsung selesai. Tetapi al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit (bertahap) sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan permasalah yang terjadi saat itu untuk memberikan jawaban atas permasalah yang dihadapi para Sahabat nabi kala itu.
Al-Qur’an diturunkan (Nuzulul Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Apa hikmahnya? Adalah untuk menguatkan rasa cinta hati nabi Muhammad dan para sahabat nabi agar selalu merasa senang setiap kali turunnya ayat al-Qur’an. Disamping itu, al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur agar supaya para sahabat lebih mudah menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan lebih dahulu.
al-Qur’an diturunkan ada kalanya yang mempunyai sebab (Asbab an-Nuzul) seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab sebuah pertanyaan dari permasalah yang dihadapi para sahabat Nabi kala itu, ataupun pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang kafir. Namun ada juga ayat al-Qur’an yang diturunkan tetapi tidak mempunyai Asbab an-Nuzul seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menceritakan umat-umat Nabi terdahulu atau menjelaskan tentang perkara-perkara gaib yang akan terjadi di hari nanti. Seperti ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang surga atau neraka, ataupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang kejadian hari kiamat nanti, ayat-ayat al-Qur’an yang seperti itu diturunkan tidak mempunyai \Asbab an-Nuzul. Ayat al-Qur’an seperti itu, diturunkan oleh Allah dimaksudkan untuk memberikan hidayah kepada umat manusia agar mau mengambil hikmah dari semua kejadian yang diceritakan oleh al-Qur’an terutama ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang adzab, musibah dan bencana dari Allah yang diturunkan kepada ummat-ummat terdahulu yang merupakan akibat dari perbuatan dosa yang telah mereka lakukan. Sehingga kita semua mau kembali ke jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah Swt untuk tidak melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Swt.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. sebanyak 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Isi kandungannya dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari isi al-Qur’an menjelaskan tentang sifat wajib Allah. Sebagian yang lain isi kandungan al-Qur’an menjelaskan tentang hukum-hukum syariat Islam dan sebagian diantaranya menceritakan tentang kejadian dan perilaku umat nabi terdahulu baik umat yang beriman kepada Allah ataupun umat yang inkar kepada-Nya.
Ada sebuah pertanyaan yang sangat sederhana. al-Qur’an adalah kalamullah (Firman Allah), Kalamullah secara tinjauan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak ada huruf dan tidak ada suaranya, ( Maa laisa biharfin walaa sautin ) tapi kenapa al-Qur’an yang merupakan kalamullah ternyata ada huruf dan ada suaranya bila dibaca? Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa kalamullah terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
1. Ada kalamullah sebangsa sifat yang maha terdahulu yang melekat pada dzatnya Allah. Kalamullah seperti itu yang tidak ada huruf dan suaranya;
2. Ada Kalamullah sebangsa lafadz yang diturunkan kepada para Nabi/Rasul, Kalamullah yang seperti ini yang ada huruf dan suaranya. Seperti al-Qur’an, Taurot, Injil dan Zabur.
Untuk itu, dengan momentum bulan Ramadlan ini mari kita sama-sama untuk membudayakan agar rumah, kantor, masjid/mushola dan sekolahkita selalu dihiasi dengan bacaan al-Qur’an. Jadikan generasi muda kita generasi yang cinta al-Qur’an, jadikan hidup kita agar selalu berpegang teguh dengan ajaran al-Qur’an. Insya Allah semakin sering kita membaca dan mengamalkan perintah al-Qur’an semakin besar harapan kita untuk mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an di hari Kiamat nanti. Amiin.
Abdul Rofi’ Afandi
DIREKTUR
MA’HAD ALY ASY-SYAFI’IYAH
Kedungwungu Krangkeng Indramayu

“Ramadhan Telah Tiba”. Sekelumit kata yang kadang banyak diantara kita yang beraneka ragam dalam menyikapinya. Diantara kita ada yang mengatakan:

A: Wah… Alhamdulillah Ramadhan sudah dekat, aduh senangnya aku…
B: Ooohh… dah mo Ramadhan lagi? Gak ngrasa ane, ya sudahlah jalani aja…
C. Eit dah! Ampuuunn… besok dah mau Ramadhan, waduh..puasa lagi.. ah gk seru..

Sekilas memang kalau kita jujur tentu kita banyak yang terjebak digolongan orang yang ke-2. Yang melihat ramadhan hanya sebatas untuk rutinitas puasa belaka, tidak ada yang special dalam menyambutnya, dan bahkan na’udzubillah jika kita malah tidak senang, benci dengan hadirnya bulan suci Ramadhan.

Ketahuilah wahai saudaraku….
Bulan Ramadhan adalah bulan yang terlalu banyak kelebihannya. Di dalamnya terdapatnya malam lailatul Qadar yaitu malam kemuliaan yang lebih baik dari 1000 bulan. Pada bulan tersebut Allah membuka pintu syurga, menutup pintu neraka dan mengikat syaitan-syaitan untuk memberi peluang kepada manusia membersihkan diri mereka sebersih-bersihnya. Amal-amal ibadah dan kebajikan digandakan Allah di mana yang sunat diberi pahala wajib/fardhu dan yang fardhu menyamai 70 fardhu di bulan-bulan yang lain. Amat banyak kelebihan bulan Ramadhan yang kesemuanya insya Allah akan kita bentangkan satu persatu dalam risalah kecil ini.

Sekarang ini kita berada di bulan Sya’ban. Inilah masanya kita menanam ‘azam untuk kita merebut segala kelebihan Ramadhan yang dijanjikan Allah. Jika Ramadhan tahun lalu kita lalai sehingga tanpa disadari Ramadhan tiba-tiba berlalu begitu saja dan kita ketinggalan merebut kelebihannya, maka pada tahun ini kita diberi peluang sekali lagi oleh Allah. Maka janganlah sia-siakan peluang kali ini karena mungkin jadi inilah Ramadhan terakhir buat kita. Kematian datang tidak menentu. Oleh itu, hendaklah kita senantiasa bersedia dan siap siaga. Rebutlah peluang semasa hayat masih ada ini supaya di akhirat kita tidak menyesal dengan sesalan yang tiada gunanya lagi.

Mumpung Allah masih memberi kesempatan tersebut, maka mari kita siapkan diri kita untuk menjemput dan menyambut bulan suci Ramadhan dengan amalan-amalan yang baik nan bermanfaat.
Berikut beberapa amalan yang pantas kita persiapkan menjelang datangnya Ramadhan:

1, Kenali Ramadhan dengan baik

Tak kenal maka tak saying, begitulah kira-kira ungkapan yang pas agar kita lebih mengenal tentang bulan Ramadhan. Kenali ramadhan dengan baik, apa dan bagaimana ramadhan itu, agar kita semakin senang saat sudah masuk didalamnya. Dan sedih saat kita harus pisah darinya.

2, Membaca kembali kelebihan-kelebihan bulan Ramadhan

Setelah kita mengenal dan akrab dengan bulan Ramadhan, maka kewajiban kita adalah mengetahui secara pasti dan terperinci tentang kelebihan-kelebihan yang ada dalam bulan Ramadhan, agar kita dapat menggapai kelebihan-kelebihan tersebut saat kita didalamnya dan tidak menyesal saat kita tidak mendapatkannya selain di bulan Ramadhan.

3, Perbaiki hubungan dengan Allah melalui taubat nashuha

Jikalah kita mengatakan bulan Ramadhan adalah bulan suci, maka layakkah kita menyambutnya dengan hati dan raga yang tidak suci? Maka sebelum kita memasuki bulan suci tersebut, mari kita sucikan diri kita, kita sucikan hati kita dari segala hal yang dapat merusak dan mengotori kesucian bulan Ramadhan, segeralah kita bertaubat kepada Allah dari segala dosa, pasti Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.

4, Perbaiki hubungan dengan sesama

Salah satu cara kita untuk mensucikan diri sebelum datangnya bulan suci Ramadhan adalah dengan memperbaiki hubungan kita kepada sesame, khususnya dari orang-ornag yang terdekat dengan kita. Sebab bisa jadi mereka yang teraniaya/terdholimi oleh perbuatan kita malah menghambat doa dan permintaan kita selama Ramadhan.

5, Siapkan Al-Quran

Sudahkah kita mempersiapkan al Quran? Berapa kali khatamkah rencana kita selama Ramadhan? Atau berapa lembar/juzkah dalam sehari? Yah.. semua itu perlu kita persiapkan saat ini juga. Jika al Quran masih belum punya, so tunggu apa lagi? Beli dan baca mulai dari sekarang juga.

6, Bayar hutang puasa tahun lalu

Masihkan kita punya hutang puasa Ramadhan tahun lalu? Jika masih ada, apa yang kita tunggu? Segera kita selesaikan segala hutang-hutang kita, baik hutang materi, hutang puasa dst. Sehingga hal tersebut tidak menambah beban bagi kita saat kita masuk bulan Ramadhan yang tinggal menghitung hari ini.

7, Siapkan budget lebih untuk sedekah puasa

Yups, ini sangat penting sekali. Jangan sampai kita lengah untuk menyisihkan sebagian harga kita saat bulan Ramadhan. Meski hanya seribu/dua ribu namun hal tersebut akan bernilai besar jika kita menginfakkan dan menyedekahkannya dibulan suci Ramadhan. Mari kita sisihkan sebagian upah kita untuk persiapan nanti saat tiba waktunya Ramadhan.

8, Jaga kesehatan, karena puasa dan Qiyamul Lail membutuhkan kesehatan fisik.

Dan persiapan yang tak kalah pentingnya adalah menjaga kesehatan mulai saat ini juga, jangan sampai kita jatuh sakit sehingga Ramadhan kita terganggu dengan sakit tersebut yang menyebabkan kita tidak sanggup untuk beribadah dengan maksimal.

Demikianlah beberapa amalan dan tips agar kita maksimal dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Ingat.. Ramadhan telah tiba, apa yang telah kita siapkan?

Penulis: Ari Suharyadi
Artikel: www.solusiislam.com
Cetak E-mail

Puasa pada hakikatnya adalah riyadah dan mujahadah (upaya latihan dan perjuangan dan terapi penahanan nafs diri atau jiwa) dari ketidakseimbangan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, kemarahan, dan syahwat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, kemarahan yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia kesembronoan tindakan, dan syahwat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan. Keseimbangan potensi akal, marah, dan syahwat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada keadilan sikap. Manusia yang memiliki keempat sifat ini dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan al-‘Amal sebagai orang yang berakhlak baik, dan pada gilirannya akan membawanya pada kebahagiaan.
Apakah kemudian keutamaan akhlak yang membawa kebahagiaan ini dengan mudahnya dapat dicapai oleh seorang muslim yang berpuasa? Jika ia berpuasa dengan baik, dalam pengertian manusia benar-benar menghayati terapi pembiasaan, pelatihan dan penahanan diri ini, niscaya jawabannya adalah “iya”, insya Allah.
Kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan manusia dari sejak dahulu hingga akhir zaman. Kebahagiaan dengan demikian adalah capaian yang niscaya. Namun kenyataannya, sebagian manusia hanya mengejar kebahagiaan atau kenikmatan jasad yang meliputi kesehatan, kekuatan, keelokan, dan panjang umur, kebahagiaan eksternal yang meliputi harta, keluarga, kemuliaan dan kehormatan keturunan, namun melupakan kebahagiaan akhirat, dan kenikmatan  taufik Allah. Disangkanya kesempurnaan,  keterpenuhan hasrat perut, dan seksualitas adalah tujuan dan puncak kebahagiaan. Padahal, ketika manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka hakikatnya pada saat itu ia tidak berbeda dengan binatang ternak yang dikuasai dorongan-dorongan biologisnya.
Puncak kebahagiaan dunia adalah kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, dan keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan. Sementara itu kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan puncak adalah keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan untuk selama-lamanya. Namun untuk mencapai kesemuanya pun menurut Al-Ghazali harus pula dengan ilmu dan ‘aktifitas’ amal.
Dihubungkan dengan kebahagiaan puncak, maka empat kebajikan utama yang berasal dari moderasi diri atau kebahagiaan jiwa merupakan prasyarat utama menuju kebahagiaan puncak tersebut. Karena subjek utama kebahagiaan itu adalah jiwa. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad sebagai berikut. Dari Nu’man ibn Basyir berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda yang artinya: “Ingatlah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, ketika ia baik, baik pula seluruh jasad itu, dan ketika rusak, rusak pula seluruh jasad itu, ingatlah ia adalah hati (H.R. al-Bukhari).
Mencapai kebahagiaan mutlak menghajatkan penyempurnaan jiwa dan hal itu meniscayakan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan jiwa.  Dinyatakan oleh Mahmud Zaqzuq bahwa keutamaan itu adalah kesiapan terus menerus untuk mengerjakan kebaikan.
Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal, kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta menyempurnakannya dengan riyadah, mujahadah dan tabattul (beribadah menghadap penuh pada Allah) dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan jiwa. Keutamaan jiwa ini dalam pandangan Al-Ghazali juga termasuk pokok-pokok agama atau ushul al-din.
Yang dimaksudkan al-Ghazali sebagai amal yang membawa kebahagiaan tidak lain adalah latihan atau riyadah memerangi syahwat diri. Dengan meminimalkan godaan shahwat itu juga akan meminimalkan  sebab-sebab atau faktor kegundahan. Dan memang tidak ada jalan untuk melenyapkan hal itu, kecuali dengan riyadah atau mujahadah (latihan dan perjuangan). Kesemuanya ini disebut ‘amal’ yang mengantarkan pada kebahagiaan. Al-Ghazali menyatakan:
Adapun yang dimaksud dengan ‘amal’ tidak lain adalah melatih syahwat nafsaniyah, memperbaiki atau memenjarakan  kemarahan dan memotong sifat- sifat ini, sehingga tunduk pada akal dan tidak dapat menguasai akal itu, juga menundukkannya untuk memenuhi kehendak. Barangsiapa yang mampu menundukan syahwat, maka dialah manusia merdeka sejati, bahkan pemilik atau raja. Meminimalkan shahwat berarti juga meminimalkan sebab- sebab atau sarana kegelisahan kesedihan dan tidak ada jalan untuk memalingkan syahwat kecuali dengan riyadah dan mujahadah (inilah yang disebut ‘amal).

Dalam halaman lain al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amal itu adalah memecah syahwat dengan cara memalingkan kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa kotor, hubungan rendah yang terkait dengan dimensi rendah.
Amal dapat pula dimaknakan dan dikaitkan atau dikembalikan  dengan mujahadat al-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya. Tentang arti mujahadah dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ia adalah mengobati jiwa dengan cara mensucikannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Syams ayat 9-10 yang mendeskripsikan keberuntungan manusia yang mensucikan jiwanya, dan kerugian manusia yang mengotori jiwanya (Qad Aflaha Man Zakkaha wa Qad Khaba Man Dassaha).
Dalam amatan al-Ghazali ada tiga kategori manusia dalam memerangi hawa nafsu. Pertama manusia yang dikalahkan dan dikuasai hawa nafsunya. Kedua,  terjadi pertarungan antara jiwa dengan nafsu silih berganti, kadang nafsu menguasai dan kadang dikuasai. Ketiga, dapat mengalahkan dan menguasai hawa nafsu laksana raja. Hendaknya manusia jenis pertama dapat mencapai derajat kedua, dan derajat kedua dapat mencapai derajat ketiga.
Al-Ghazali kemudian menyangkal dugaan sementara manusia yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Al-Ghazali berargumentasi bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat diubah, niscaya kita tidak akan diperintahkan untuk memperbagus akhlak kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Hassinu Akhlaqakum” dan akan sia-sia aneka wasiat nasehat motivasi berbuat baik dan teguran. Bukankah hewan pun dapat dididik menjadi lebih baik.
Menurut Al-Ghazali segala yang diciptakan Allah itu tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, tidak dapat diubah dengan perbuatan atau usaha manusia, seperti langit, bintang,dan  anggota badan kita. Kedua, ciptaan Allah yang menerima kesempurnaan  setelah ditemukan syarat-syarat pendidikan dengan memaksimalkan ikhtiar. Proses demikian dapat diamati misalnya dari biji kurma yang berubah menjadi pohon kurma dengan pemeliharaan. Konteks puasa sebagai upaya penundukan nafsu ammarah (kemarahan dan syahwat) adalah dalam rangka perbaikan atau pendidikan akhlak ini.
Memang melepaskan akhlak tercela yaitu syahwat dan amarah (ghadab) tidak akan tercapai seketika. Namun jika manusia berkehendak mengendalikan dan memaksa syahwat dan ghadab itu dengan mujahadah dan riyadah yang tujuannya adalah untuk menyempurnakan jiwa dan juga membersihkannya, niscaya manusia akan  mampu.
Nah, semoga dengan puasa yang kita jalankan selama sebulan di tiap tahun ini, kita dapat memaknai pendidikan riyadah dan mujahadah ini dengan lebih baik, sehingga dapat mengantarkan kita pada kebahagian jiwa yang pada gilirannya nanti membawa pada kebahagiaan akhirat. Amin.

Cetak E-mail
Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramdlan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.

Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban berpuasa dan berhari raya.
Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir particular dan parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan komprehensif.

II. Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab

Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab?

Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.

Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.

Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).

Memang, banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi pereode nabi berbeda dengan pereode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi, mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode nabi.

III. Analisa, Solusi dan Penutup

Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab. Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah "melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.

Telah jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan persoalan furu’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak arus bawah yang timbul begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan Ramadlan maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah, jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati otoritas pemerintahan ini. Wallahu a’lam.

Muhammad Nurul Ahsan (Al-Azhar University)